Garuda

Garuda-1Arca Wisnu di atas Garuda, koleksi Museum Trowulan Mojokerto
(Foto: internet)

Nama Garuda sudah demikian populer di telinga kita. Lambang burung Garuda bahkan sudah menjadi kebanggaan tersendiri buat masyarakat Indonesia. Sebagai lambang negara, tentunya pemilihan burung Garuda tidak dilakukan begitu saja. Bisa dipastikan ada proses panjang yang dilakukan oleh para ilmuwan atau cendekiawan kala itu.

Kemungkinan besar semua ini bersumber dari mitologi kuno yang pernah populer dan berkembang di Nusantara berabad-abad lampau. Mereka yang menggemari cerita epik (kepahlawanan) dari masa purba, Ramayana, pastinya mengenal sosok Jatayu. Jatayu adalah sosok baik karena dia menolong dewi Sinta dari penculikan raksasa jahat. Ujud pahlawan ini adalah burung Garuda. Karena perannya yang positif, maka Garuda begitu diagungkan.

Di dalam mitologi kuno sebenarnya ada beberapa binatang yang menonjol fungsinya. Yang pertama adalah Naga. Di Asia dan Oseania, Naga memegang peranan penting dalam kehidupan karena dianggap sebagai nenek moyang manusia. Naga juga diidentikkan dengan asal terjadinya sumber air dan tumbuh-tumbuhan yang berguna bagi manusia.

Dibandingkan Naga, Garuda dikenal belakangan di Asia Tenggara termasuk Indonesia melalui kebudayaan kuno India. Dalam mitologi, Garuda merupakan lawan dari Naga. Naga adalah lambang dunia bawah, sementara Garuda adalah lambang dunia atas, matahari, dan pengusir kegelapan. Naga dan Garuda merupakan unsur yang saling bertentangan, namun tidak dapat dipisahkan.

Tokoh Garuda dikenal dalam agama Hindu dan Buddha. Dalam agama Hindu, Garuda yang merupakan raja dari segala burung, dikaitkan dengan aliran Waisnawa (pemuja dewa Wisnu). Di dalam mitologi Hindu disebutkan bahwa Garuda bersedia menjadi wahana (= kendaraan tunggangan) Wisnu dengan imbalan kehidupan abadi. Bahkan Garuda diiming-imingi kedudukan lebih tinggi dari Wisnu dengan menempatkannya sebagai lambang bendera Wisnu. Sedangkan dalam agama Buddha, Garuda dikenal dalam berbagai kisah Tantri dan sebagai pelindung Buddhisme.

Dalam ikonografinya, Garuda diarcakan sebagai rajawali berbadan manusia, bertangan dua atau empat, dan sayapnya terbuka lebar. Kedua tangannya itu berada dalam sikap anjali, yakni mengatupkan tangan di depan dada seperti menyembah. Dua tangan yang lain membawa payung dan kendi. Salah satu kakinya menginjak beberapa ekor ular (naga).

Tokoh Garuda memiliki arti simbolis, menggambarkan sifat ketangkasan, melayang tinggi, dan kedahsyatan. Karena itu Garuda sering kali dihubungkan dengan berbagai prinsip keagamaan, sebagai kekuatan yang membawa hidup sekaligus mempertahankan hidup. Di dalam ungkapan seni, selain sebagai arca, Garuda juga dirupakan sebagai relief atau hiasan bangunan, baik yang erat kaitannya dengan aliran Waisnawa maupun sebagai ungkapan keindahan semata.

Di luar Indonesia

Di masa kuno pengaruh India berkembang luas ke mana-mana. Maka dari itu beberapa negara Asia Tenggara, juga mengenal figur Garuda. Di Kamboja figur Garuda berkembang pada abad k-7 hingga ke-14. Garuda sering kali digambarkan sebagai arca tunggal ataupun sebagai wahana Wisnu, bahkan sebagai penghias candi.

Garuda-2.jpgArca Garuda koleksi Museum Nasional
(Foto: Djulianto Susantio)

Arkeolog Sri Sujatmi Satari dalam sebuah makalahnya (1986) mengatakan, pada umumnya fisik Garuda di Kamboja merupakan percampuran sifat-sifat burung, manusia, dan singa. Dia juga mengungkapkan, dalam arsitektur Khmer, peranan Garuda sangat penting. Pada candi-candi abad ke-7 Garuda dipahatkan sebagai relief ambang pintu atas dalam adegan memerangi musuhnya, Naga. Pada masa-masa selanjutnya monumen-monumen Buddhistis pun banyak dihias dengan relief dan arca Garuda.

Di Thailand penemuan figur Garuda terbilang sangat sedikit. Monumen-monumen Buddhistis tidak banyak menyerap unsur kebudayaan Hindu. Kemungkinan besar gaya seni Lopburi (abad ke-11–13) berkembang di sana. Gaya seni Lopburi banyak mendapat pengaruh Khmer karena bangsa Khmer pernah menduduki Lopburi dan menjadikannya provinsi Kamboja. Sebagaimana halnya Indonesia, Garuda pun kini menjadi lambang kerajaan Thailand.

Di Indonesia

Arca Garuda mulai dikenal di Indonesia sekitar abad ke-8—9 di Jawa Tengah. Saat itu Garuda digambarkan sebagai relief, wahana Wisnu, dan arca yang berdiri sendiri. Figur Garuda yang bercorak khas, dibandingkan di Kamboja dan Thailand, antara lain dijumpai di kompleks Percandian Dieng dan Candi Banon.

Sebagai relief candi, Garuda antara lain dipahatkan pada Candi Borobudur, Mendut, dan Sojiwan. Di ketiga candi berciri Buddha itu, Garuda tidak dikaitkan dengan pemujaan kepada Wisnu tetapi merupakan bagian dari cerita Tantri. Yang unik, Garuda juga menghiasi yoni, sering kali bersama-sama arca naga. Hal seperti ini sangat berbeda dari tempat-tempat lain di Asia Tenggara.

Di Candi Prambanan yang berciri Hindu, ditemukan arca Garuda yang merupakan peralihan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pada masa berikutnya dikenal arca Garuda gaya Jawa Timuran, berupa arca wahana dan bagian dari relief cerita. Kemungkinan artefak-artefak itu bertarikh abad ke-10 hingga ke-14.

Pada masa yang paling muda, abad ke-15, dikenal arca Garuda dengan posisi berdiri. Yang terbesar berasal dari Candi Sukuh. Pengaruh seni Hindu masih berlanjut pada masa Islam, misalnya Garuda di Sendangduwur.

Cerita tentang Garuda ternyata tidak hanya dikenal dalam naskah-naskah kuno, tetapi juga dalam cerita wayang, misalnya dalam lakon Ngruno-Ngruni. Nama ini berasal dari Aruna, adik Garuda dalam mitologi. Di Indonesia dikenal juga Garuda-mantra yang dianggap dapat dipakai sebagai penangkal bisa ular.

Mitologi Garuda

Mitologi Garuda berasal dari kebudayaan Hindu. Garuda digambarkan sebagai manusia burung dengan bulu keemasan, dan memiliki mahkota di kepalanya. Konon, ukuran tubuh Garuda sangat besar sehingga mampu menutupi matahari. Menurut Mahabharata, saat Garuda lahir dari telurnya, bumi gonjang ganjing sehingga para dewa memohon padanya untuk tenang.

Cerita mengenai Garuda banyak versinya, namun yang paling populer terdapat dalam parwa pertama kitab Mahabharata. Di Indonesia cerita Garuda antara lain diringkas dalam naskah kuno Garudeya. Ceritanya begini:

Suatu hari Kadru dan Winata bertaruh untuk menebak warna ekor kuda Uccaisrawa. Sebagai taruhannya, yang kalah harus menjadi budak bagi yang menang.

Kadru menyatakan bahwa ekor kuda Uccaisrawa berwarna hitam. Sebaliknya menurut Winata berwarna putih. Karena ingin menang, Kadru berbuat curang. Diam-diam dia menyuruh anak-anaknya, yaitu para naga (ular), untuk memercikkan bisa ke ekor kuda Uccaisrawa. Keesokan harinya ketika dilihat ternyata kuda yang berwarna putih itu mempunyai ekor berwarna hitam. Winata yang terperdaya pun harus rela menjadi budak Kadru.

Ketika Garuda tahu bahwa ibunya menjadi budak karena kecurangan, dia menjadi geram. Namun untuk membebaskan ibunya itu, Garuda disyaratkan harus mampu membawa air amerta, yakni air suci untuk kehidupan abadi.

Dalam upayanya mencari air suci itu, Garuda menghadapi berbagai rintangan. Meskipun begitu akhirnya Garuda berhasil mencapai Gunung Somaka, tempat para dewa meletakkan air amerta. Karena kesaktiannya, Garuda berhasil mengalahkan dewa Bayu, penguasa angin. Indra, dewa perang, kemudian bertekuk lutut. Kelak, dewa Indra akan membinasakan para ular itu. Dewa-dewa lainnya juga tak dapat menandingi Garuda sehingga akhirnya Garuda berhasil membawa air amerta terbang ke angkasa.

Di perjalanan Garuda bertemu dewa Wisnu. Kata Wisnu, “Wahai Garuda, kalau engkau menghendaki air amerta, mintalah kepadaku. Aku akan memberikannya”. Garuda membalas, “Tidak selayaknya engkau berkata begitu, batara Wisnu, sebab kesaktianku jauh lebih tinggi daripada kesaktianmu. Hanya oleh air amerta engkau tidak mengenal tua dan mati. Tetapi aku, tanpa minum air amerta pun tidak akan tua dan mati. Mintalah yang lain kepadaku, niscaya akan kupenuhi”.

Wisnu menyahut, “Kalau benar ucapanmu itu, aku minta supaya engkau menjadi wahana-ku”. Itulah sebabnya dalam penggambarannya Wisnu selalu duduk di atas Garuda. Penggambaran demikian banyak ditemui di berbagai candi. Selain dalam Mahabharata dan Ramayana, cerita tentang Garuda juga terdapat dalam Asatadasaparwa, Wŗhatkatha, dan Garudamahapurana.

Dalam mitologi, Garuda diidentikkan lambang kebaikan dan kegigihan, sementara ular atau naga adalah lambang kelicikan. Karena dianggap memiliki makna positif dan edukatif, maka seniman-seniman kuno memahatkan cerita Garudeya sebagai relief (gambar timbul) pada berbagai candi di Jawa.

Yang paling dikenal adalah Garudeya pada Candi Kidal di Malang. Sayang kini sejumlah potongan batu yang melukiskan Garudeya itu sudah lenyap digondol maling barang antik. Sebagai gantinya, di tempat semula dipasangi batu polos buatan zaman sekarang, sekadar untuk menahan beban di atasnya.

Menurut bukti-bukti arkeologis, beberapa raja di Jawa banyak memakai Garuda sebagai lancana atau lambang kerajaan. Yang paling banyak berasal dari masa raja Airlangga, lazim disebut Garudamukha. Lambang Garudamukha, sebagaimana diuraikan epigraf Ninie Susanti dalam disertasinya (Airlangga, 2010), sering kali digambarkan di bagian puncak prasasti atau di dalam isi prasasti yang terjemahannya berarti ’prasasti berisi perintah tertanda Garudamukha’.

Lambang Garuda

Sosok Garuda rupanya dipandang sangat menarik. Berbagai kebudayaan kuno seperti Aztec dan Romawi, juga mengagungkan Garuda. Demikian halnya dengan Presiden pertama RI, Soekarno. Beliau selalu bersemboyan ‘jas merah’ – jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Maka dari itu, perusahaan penerbangan kebanggaan Indonesia, beliau beri nama Garuda.

Garuda-3Garuda, lambang Kerajaan Sintang
(Foto: internet)

Namun yang masih agak simpang siur adalah siapakah pencipta lambang burung Garuda yang menjadi lambang negara kita itu? Selama ini orang sering kali menghubungkannya dengan M. Yamin, Menteri Pendidikan dan Pengajaran di era Presiden Soekarno. Pendapat lain mengatakan pencipta lambang Garuda adalah Sultan Hamid Alkadri II dari Kalimantan Barat. Hal itu dikemukakan Turiman FN ketika menyelesaikan S-2 Pascasarjana di FHUI (1999).

Menurut dia, sejarah penciptaan burung Garuda berawal dari sayembara lambang negara pada 1949. Ketika itu PM Republik Indonesia Serikat (RIS) Prijono menerima dua buah rancangan, yaitu “Burung Garuda” karya Sultan Hamid Alkadri II dan “Banteng Matahari” karya M. Yamin. Di antara keduanya, yang terpilih adalah “Burung Garuda”. Namun panitia memberi catatan bahwa gambar rancangan itu perlu diperbaiki pada beberapa bagian.

Pada 1950 Menteri Negara RIS Sultan Hamid Alkadri II mengajukan gambar rancangan lambang negara yang disempurnakan. Hasil akhirnya adalah seperti yang dikenal sekarang.

Rancangan itu diresmikan dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin oleh Moh. Hatta pada 11 Februari 1950. Pada 15 Februari 1950 Presiden Soekarno memperkenalkan lambang itu kepada umum di Hotel Des Indes Jakarta. Kini hotel tersebut sudah dibongkar dan menjadi pusat perbelanjaan Duta Merlin.

Namun pada 5 April 1950 Sultan Hamid Alkadri II dikaitkan dengan peristiwa pemberontakan Westerling dan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) sehingga dia menjalani proses hukum dan dipenjara selama 16 tahun oleh Presiden Soekarno. Ada kesan, hasil karya Sultan Hamid Alkadri II itu sengaja dihilangkan, sehingga namanya jarang disebut-sebut.

Ternyata kemudian diperdebatkan lagi bahwa lambang yang diciptakan oleh Sultan Hamid tersebut, mengambil inspirasi dari lambang Kerajaan Sintang. Dikabarkan, sekitar tahun 1948, Sultan Hamid mengunjungi beberapa Swapraja (pusat pemerintahan sebagai ganti kerajaan oleh Pemerintah Hindia Belanda), di antaranya Swapraja Sintang dan Putus Sibau (Kapuas Hulu). Di Kerajaan Sintang dia tertarik pada patung burung Garuda yang menghiasi Gantungan Gong, persembahan yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit.

Sultan Hamid pun berinisiatif meminjam lambang tersebut. Saat itu pihak Swapraja Sintang tak keberatan, namun dengan beberapa syarat. Salah satunya Sultan Hamid harus menandatangani semacam berita acara dengan waktu peminjaman tak boleh lebih dari satu bulan. Sayang surat peminjaman dengan tanda tangan Sultan Hamid II, yang menjadi arsip Swapraja sulit ditemukan. Bahkan arsip tersebut sudah tak bisa dilacak lagi.

Bentuk burung Garuda yang pernah dibawa Sultan Hamid II itu kini disimpan di Museum Dara Juanti, Sintang, Kalimantan Barat.

Panitia Lencana Negara

Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Selama jabatan menteri negara itu, dia ditugaskan oleh Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara.

Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Sultan Hamid II. Susunan Panitia Teknis terdiri atas M. Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab, untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari, yang dinilai menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno, dan Perdana Menteri Moh. Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi. Burung garuda dengan tangan dan bahu manusia memegang perisai, dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali – Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Perdana Menteri Moh. Hatta.

AG Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih gundul dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini.

Garuda-4.jpgLambang keempat, dipakai terus hingga sekarang (Foto: internet)

Penyempurnaan kembali lambang negara terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang gundul diubah menjadi berjambul. Atas masukan Presiden Soekarno, bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki.

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno. Beliau kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II. Itulah bentuk yang dipergunakan secara resmi sampai sekarang.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara. Dia menambahkan skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung dari Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara berdisposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara, yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950, disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak.

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa dan dasar negara Indonesia. Akhirnya sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila, divisualisasikan dalam lambang negara tersebut. (Djulianto Susantio)

Pos ini dipublikasikan di Periode Klasik (Hindu-Buddha) dan tag , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar