Prasasti

Amburadul-musnasKoleksi Prasasti di Museum Nasional. Karena pecah, banyak bagian tidak terbaca (Ilustrasi/Koleksi Djulianto Susantio)

…swasti sakawarsatita 824 posa masa tithi dasami kresnapaksa. tunglai. kaliwuan. soma wara. daksinastha jaista naksatra. mitra dewata. sukarmma yoga…

Apa arti tulisan di atas? Sudah dialihaksarakan ke dalam aksara Latin saja, banyak yang tidak paham. Apalagi kalau masih tertulis dalam aksara aslinya, lebih tidak tahu. Tidak dimungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia masih merasa awam terhadap tulisan di atas. Nah, bagaimana kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata, seperti berikut:

Selamat! Tahun Saka telah berlangsung 824 tahun, bulan Posa, tanggal 10 paro gelap, pada hari tunglai, kaliwuan dan hari senin, kedudukan planet di selatan, bintang Jaista: dewa Mitra, yoga…
(Sumber: Tiga Prasasti dari Masa Balitung, 1982)

Memang kata-kata itu masih agak sulit dimengerti. Jangankan masyarakat awam, pakar bahasa pun mungkin merasa “kewalahan” dengan terjemahan seperti itu. Karena aksara dan bahasanya berasal dari belasan abad yang lampau, tentu berbagai kendala dihadapi para peneliti zaman sekarang.

Penggalan baris pertama dari puluhan baris yang ada pada Prasasti Panggumulan itu memang masih terasa asing di telinga kita. Tidak sembarang orang mampu mengalihaksarakan dan membacanya. Apalagi menerjemahkan dan menafsirkannya sekaligus ke dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Hanya segelintir orang yang mampu melakukannya, yakni para arkeolog. Itupun tidak seluruh arkeolog, melainkan mereka yang mendalami bidang epigrafi. Epigrafi adalah subdisiplin dari arkeologi yang memelajari segala aksara dan bahasa kuna beserta seluk-beluknya. Berdasarkan hasil kajian para epigraflah, maka penulisan sejarah kuno Indonesia seperti yang dikenal sekarang, bisa tersusun dengan baik.

Kalau tidak ada epigraf, kita tidak mungkin mengenal Kerajaan Majapahit dengan Rajanya Hayam Wuruk dan Patihnya Gajah Mada. Kita pun mungkin tidak tahu akan kebesaran tokoh Jayabaya, Airlangga, dan Ken Arok atau Kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya, dan Singhasari. Tentu tak terbayangkan jadinya bila sejarah kuno Indonesia begitu gelap. Dari mana kita akan berkaca, kalau tidak mempunyai masa lampau yang cemerlang?


Akhir prasejarah

Ditemukannya prasasti tertua pada sejumlah situs arkeologi, dianggap menandai berakhirnya masa prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tradisi tulisan. Kata prasasti sendiri berasal dari bahasa Sansekerta. Arti sebenarnya adalah pujian. Namun kemudian diangggap sebagai “piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang, dan tulisan”. Di kalangan ilmuwan, prasasti disebut inskripsi. Sementara orang awam mengenalnya sebagai batu bertulis atau batu bersurat.

AusKoleksi prasasti di Museum Nasional, aksaranya sudah aus sehingga menyulitkan pembacaan (Koleksi Djulianto Susantio)

Meskipun berarti pujian, tidak semua prasasti mengandung puji-pujian kepada raja. Sebagian besar prasasti justru diketahui memuat keputusan mengenai penetapan sebuah desa atau daerah menjadi perdikan atau sima (tanah yang dilindungi). Sebagian lagi berupa keputusan pengadilan tentang perkara-perkara perdata (disebut prasasti jayapattra atau jayasong), sebagai tanda kemenangan (jayacikna), tentang utang-piutang (suddhapattra), dan berisi kutukan atau sumpah.

Prasasti tertua Indonesia yang pernah ditemukan bertarikh abad ke-5 M. Periode terbanyak pengeluaran prasasti terjadi pada abad ke-8 hingga ke-14 M, ketika yang berkuasa di Nusantara adalah kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Buddha (dikenal sebagai masa klasik), seperti Mataram Hindu, Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit.

Selain kerajaan Hindu dan Buddha, di negara kita juga pernah berkuasa kerajaan atau kesultanan Islam, seperti Samudra Pasai, Demak, Gresik, dan Cirebon. Prasasti dari periode Islam pun cukup banyak tersebar di Nusantara. Begitu pula prasasti dari masa pendudukan (kolonial).

Sesuai etnisitas atau pengaruh kebudayaan, tentu saja aksara dan bahasa yang digunakan dalam prasasti amat beragam. Pada masa klasik, yang terbanyak adalah aksara Pallawa, Prenagari, Dewanagari, dan Jawa kuno. Sementara bahasa yang digunakan adalah Sansekerta, Jawa kuno, Melayu kuno, Sunda kuno, dan Bali kuno. Pada masa selanjutnya aksara-aksara ini berkembang menjadi Jawa tengahan dan Jawa baru.

Pada masa Islam digunakan aksara dan bahasa Tamil (India) dan Arab. Prasasti-prasasti dari masa ini umumnya berupa tulisan pada batu nisan yang memuat keterangan tentang nama, tanggal wafat seseorang, kutipan ayat suci Al-Qur’an, serta berkenaan dengan pendirian masjid, kraton, dan gapura.

Prasasti-prasasti dari masa kolonial relatif lebih mudah dibaca karena beraksara Latin. Bahasa yang digunakan antara lain Portugis, Belanda, dan Inggris. Prasasti Latin umumnya dijumpai pada batu makam, tugu peringatan, gereja, rumah tinggal, benteng, dan pergudangan. Selain itu, ada pula prasasti-prasasti beraksara dan berbahasa Mandarin yang sebagian terbesar terdapat pada batu makam.

Uniknya, di negara kita pernah ditemukan sejumlah prasasti yang menggunakan dua bahasa sekaligus. Mungkin ini karena di kerajaan tersebut bermukim dua komunitas besar. Prasasti-prasasti dwibahasa itu antara lain Kayumwungan atau Karangtengah (824 M) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Jawa kuno serta Amogaphasa (1286 M) dengan bahasa Melayu kuno dan Jawa kuno.


Bahan

Budaya tulis rupanya sudah dikenal sejak lama. Namun sarana menulis bukanlah tinta dan kertas, melainkan batu dan pahat. Batu merupakan bahan yang mudah didapat, sekaligus tahan lama. Selain andesit, yang digunakan sebagai sarana penulisan prasasti adalah batu kapur atau basalt. Di kalangan arkeologi, prasasti batu disebut upala prasasti.

Prasasti-nugroho-01Pembacaan prasasti di tempat aslinya. Akibat berada di ruang terbuka, kondisi prasasti batu itu semakin aus (Foto: Koleksi Nugroho Pambudi)

Namun sesungguhnya di luar batu ada juga bahan yang tak kalah awetnya, yakni logam. Prasasti berbahan tembaga atau perunggu disebut tamra prasasti. Selain itu ada ripta prasasti, yakni prasasti yang ditulis di atas lontar atau daun tal. Prasasti logam dan lontar juga relatif banyak ditemukan di Nusantara.

Yang sedikit jumlahnya tapi tergolong unik adalah prasasti berbahan tanah liat atau tablet. Isi tablet adalah mantra-mantra agama Buddha. Sebenarnya, ada juga prasasti yang dituliskan di atas lembaran perak atau emas. Namun jumlahnya tidak banyak dan itu pun lebih cenderung menunjukkan nama orang/raja.

Di antara sekian jenis prasasti, rupanya hanya prasasti batu yang memiliki berbagai variasi bentuk. Mungkin disesuaikan dengan batu yang ada atau karena keterampilan sang pemahat. Yang terbanyak adalah berbentuk balok (segiempat), lingga (bulat panjang), dan yupa (tiang batu). Prasasti berbentuk stele, dengan bagian atas bulat atau lancip, juga banyak ditemukan. Demikian halnya dengan prasasti berbentuk wadah (jambangan, gentong, peti batu, lumbung) dan alamiah (batu alam). Sejumlah prasasti malah dipahatkan pada bagian candi dan badan arca (Hari Untoro Drajat, 1992).

Dari berbagai bentuk itu, ada yang polos dan ada yang berhiasan, termasuk ukiran, simbol kerajaan, dan simbol keagamaan. Salah satu prasasti yang tergolong megah dan unik adalah Prasasti Telaga Batu dari masa Kerajaan Sriwijaya. Bentuk fisik prasasti tersebut sangat istimewa. Bagian atas prasasti itu dihias dengan tujuh kepala ular kobra berbentuk pipih dengan mahkota berupa permata bulat, sementara leher ularnya mengembang dengan hiasan kalung.

Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, prasasti dipandang merupakan sumber terpenting karena mampu memberikan kronologis suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat prasasti sangat menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkapkan sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan.

Hingga kini prasasti telah banyak membantu penyusunan buku-buku teks sejarah. Berbagai atribut negara pun, seperti bendera merah putih dan lambang burung garuda, digali berdasarkan data dari prasasti.

Disayangkan, masih banyak data belum muncul karena berbagai masalah, seperti huruf pada prasasti sudah aus, batunya pecah-pecah, sebagian tulisan hilang, dan belum terbaca karena tenaga ahlinya (pakar epigrafi atau epigraf) masih langka. Di seluruh Indonesia, mungkin kita hanya memiliki belasan pakar epigrafi yang tersisa. Itu pun sebagian besar sudah berstatus pensiunan. Bahkan ada beberapa yang sudah meninggal.

Karena kita hidup di masa kini, tentunya kita tidak bisa mengingkari masa lampau. Sebagai cermin untuk masa kini dan masa mendatang, sudah sepatutnya kita memberi perhatian kepada prasasti karena prasasti ibarat ensiklopedia tentang masa lampau kecemerlangan bangsa Indonesia.


Beragam Informasi

Hasil pembacaan terhadap ratusan prasasti, banyak sekali menginformasikan kehidupan masyarakat Indonesia kuno. Informasi terbanyak adalah mengenai uang administrasi, birokrasi pemerintahan, kehidupan ekonomi, pelaksanaan hukum, keadilan, sistem pembagian kerja, perdagangan, agama, adat-istiadat, kesenian, sengketa tanah, pembuatan bendungan, manipulasi pajak, perjudian, dan pelacuran (Boechari, 1977).

IMG_0003Faksimili Prasasti Ulubelu dari daerah Lampung Selatan abad ke-14 (Sumber: Katalog Pameran Perkembangan Aksara di Indonesia, Museum Nasional, 2002) 

Secara umum, bagian terbesar dari prasasti membicarakan masalah sosial politik. Hanya sedikit yang mengupas masalah budaya atau ekonomi, sehingga para epigraf harus bekerja sama dengan para filolog (ahli naskah kuno) untuk melengkapinya.

Banyak kejadian pada masa sekarang, sebenarnya merupakan kesinambungan dari masa ratusan tahun yang lalu, misalnya tentang perjudian dan pelacuran. Sumber tertua yang menyebutkan kedua hal itu adalah Prasasti Kuti (840 M). Dikatakan bahwa salah satu “petugas penting” milik kerajaan adalah adalah juru jalir (germo atau mucikari). Dia setingkat dengan tuha judi atau juru judi (pengawas perjudian).

Kapan berlangsungnya upacara Kasodo di Gunung Bromo, bisa dilacak dari beberapa prasasti. Prasasti Muncang (944 M) menyebutkan Gunung Bromo dengan ungkapan Sang Hyang Swayambhuwa I Walandit, yaitu tempat para pendeta melakukan persembahan kepada bhatara Swayambhuwa, nama lain dewa Brahma.

Sedangkan Prasasti Walandit (1381 M) menyebutkan penduduk Desa Walandit sejak dulu dikenal sebagai pemuja Sang Hyang Gunung Brahma (Gunung Bromo) yang taat. Dikatakan juga pada 9 Kresnapaksa bulan Asada tahun 1405 M para warga Desa Walandit membuat piagam yang berisi perintah Bhatara Hyang Wekas ing Suka, gelar anumerta Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit, mengenai status Desa Walandit yang keramat itu. Kemungkinan besar nama kasodo berasal dari kata asada yang kemudian menjadi kasada.

Mau tahu asal-mula pertunjukan wayang, juga bisa dilacak dari prasasti. Pada Prasasti Sangguran (928 M), misalnya, tertulis kalimat …ta sira wayang mangaran…, sementara pada Prasasti Alasantan (939 M) tertera…manangap tang rakryan wayang mangaran…. Sementara dari Prasasti Wukayana (angka tahunnya tidak jelas, hanya diketahui dari masa Raja Balitung) dijumpai kalimat…si galigi mawayang buat hyang macarita bimma ya kumara…. Artinya, Si Galigi memainkan wayang untuk penghormatan kepada para dewa dengan mengambil cerita Bimma Kumara (A.S. Wibowo, 1976).

Dewasa ini, masalah yang sedang hangat dibicarakan adalah pajak. Sejak dulu, ternyata penyelewengan pajak sering dilakukan aparat pemerintahan. Informasi yang agak panjang bisa diperoleh dari Prasasti Luitan (901 M). Konon setiap tampah (ukuran tanah waktu itu) tanah penduduk akan dikenai pajak 6 dharana. Seorang kaya pernah diharuskan membayar 40 ½ tampah x 6 dharana = 243 dharana.

Ternyata setelah diprotes dan diadakan pengukuran ulang, luas tanahnya cuma 27 tampah. Kalau tidak teliti, dia akan diakalin 13 ½ tampah x 6 dharana = 81 dharana. Rupanya tampah yang digunakan si petugas pajak nakal itu, berukuran lebih kecil daripada ukuran sesungguhnya. Terang aja tanahnya kelihatan semakin luas.

Namun untuk melaporkan aparat pajak yang curang itu, si wajib pajak harus memberikan “uang administrasi” kepada petugas pengadilan. Meskipun masih dalam skala kecil-kecilan, “mafia peradilan” juga sudah ada sejak zaman dulu. Selain “uang administrasi”, banyak petugas diberitakan meminta “upeti” atau “traktir” kepada warga yang sedang ditimpa masalah.

Kalau suatu daerah atau kota belum memiliki “hari kelahiran”, biasanya yang dicari adalah seorang epigraf. Tercatat sudah banyak prasasti yang dipakai untuk melegitimasi sebuah kota. Dalam Prasasti Kumala (14 Desember 1350), misalnya, disebutkan nama Raja Matahun. Dari segi etimologi (asal-usul kata), kata Matahun dianggap dekat kaitannya dengan Tawun dan Madihun. Itulah asal nama Madiun sekaligus penetapan hari jadinya.

Dasar penentuan hari jadi adalah penyebutan nama kota tersebut pertama kalinya dalam sebuah prasasti. Prasasti Harinjing (25 Maret 804) pernah menyebutkan nama Kadiri. Jadilah tanggal itu sebagai awal berdirinya kota Kadiri. Begitu juga Prasasti Canggu (7 Juli 1358) yang menyinggung Ngawi.

Pokoknya, banyak sekali informasi yang bisa digali dari prasasti. Apalagi bila para epigraf berhasil menafsirkannya secara jeli. Misalnya tentang berbagai jenis makanan pada pesta, pakaian yang dikenakan masyarakat, upeti untuk raja, flora dan fauna, alat musik, premanisme, perhiasan, dan masih banyak lagi. Sayangnya, orang yang mampu menerjemahkan sekaligus menafsirkan isi prasasti masih sangat langka.


Cara Membaca Tarikh

Sebagian besar prasasti memiliki unsur angka tahun atau pertanggalan yang disebut candrasangkala. Candrasangkala adalah angka tahun yang dinyatakan dalam bentuk kalimat dengan kata-kata yang mempunyai nilai angka tertentu. Untuk memperoleh angka tahun yang tepat, kata-kata itu harus dibaca dari belakang. Contohnya candrasangkala dari Prasasti Batutulis panca pandawa ngemban bhumi (panca = 5, pandawa = 5, ngemban = 4, dan bhumi = 1).

IMG_0004Prasasti Canggal (Sumber: Katalog Pameran Perkembangan Aksara di Indonesia, Museum Nasional, 2002)

Candrasangkala berbahasa Sunda Kuno itu menunjuk angka tahun 1455 Saka. Jadi bukan 5541 Saka. Untuk mendapatkan tahun Masehi, kita harus menambahnya dengan 78 tahun. Dengan demikian tahun 1455 S identik dengan 1533 M. Kecuali bila sebuah prasasti dikeluarkan pada bulan Magha, bulan Phalguna, atau tanggal 10 Suklapaksa sampai 15 Kresnapaksa bulan Posya, maka harus ditambahkan 79 tahun.

Contoh lain adalah candrasangkala Prasasti Canggal berbunyi sruti indrya rasa (sruti = 4, indrya = 5, dan rasa = 6) yang menunjuk 654 S atau 732 M. Prasasti ini berbahasa Sansekerta. Di Indonesia tarikh Saka sangat dominan selama berabad-abad.

Meskipun begitu ada beberapa prasasti yang menggunakan tarikh Sanjaya, misalnya Prasasti Taji Gunung, Timbanan Wungkal, Tihang, dan Tulang Er. Permulaan tahun Sanjaya adalah tahun 638 Saka. Artinya tahun 1 Sanjaya identik dengan tahun 638 Saka.


Kendala Penelitian

Kendala terbesar untuk menguak informasi masa lampau adalah memahami prasasti itu. Banyak langkah yang harus dilakukan untuk menangani prasasti, yakni mengalihaksarakan (ke dalam bahasa Latin), membaca, dan menerjemahkannya. Selain itu kita harus mampu menafsirkannya karena kalimat dalam prasasti sangat pendek sehingga untuk mengertinya kita perlu kemampuan ekstra. Biasanya para epigraf melakukan perbandingan dengan karya sastra (naskah) dan/atau berita asing yang sezaman. Di pihak lain, banyak bagian kosong harus diisi dengan berbagai hipotesis, yang mengandalkan kekuatan imajinasi dan kejelian si peneliti.

Dalam dunia epigrafi dikenal beberapa cara untuk menganalisis suatu prasasti. Pertama adalah analisis bentuk. Hasilnya adalah klasifikasi yang pada akhirnya dapat menentukan ciri-ciri khusus suatu prasasti dari masa tertentu. Misalnya demikian, dari masa kerajaan A umumnya prasasti berbentuk segiempat, sementara dari kerajaan B berbentuk lonjong.

Kedua, diplomatik, yakni memelajari bentuk prasasti, gaya bahasa, dan ungkapan-ungkapan khusus sehingga menunjukkan ciri-ciri prasasti dari suatu masa tertentu.

Ketiga, analisis bahan, untuk mengetahui bahan-bahan apa saja yang umumnya dikeluarkan oleh suatu kerajaan: batu, logam, ataukah lainnya.

Keempat, analisis hubungan, untuk mengetahui apakah prasasti berhubungan dengan artefak-artefak lain. Semakin berhubungan, tentu semakin mudah penafsirannya.

Kelima, analisis fungsional. Analisis ini dilakukan berdasarkan pembacaan dan penafsiran isi prasasti.

Keenam, analisis teknologi prasasti, yakni menafsirkan bagaimana penulis prasasti menggores atau mengukir batu/logam.

Ketujuh, analisis bahasa, yakni untuk mengetahui makna atau arti suatu kata. Terkadang untuk analisis bahasa saja, para epigraf memerlukan waktu bertahun-tahun, seperti yang pernah terjadi pada Prasasti Wadu Tungki. Di dalam prasasti itu antara lain disebutkan kata-kata bhalang geni (lempar api), ilang (hilang), dan langit (udara). Setelah dikaji mendalam baru diketahui bahwa ketiga kata itu bermakna “ada peperangan di alam terbuka sehingga banyak orang terbunuh”.


Paleografi

Dalam menghadapi prasasti, para epigraf sering menemui berbagai kendala. Apalagi bila prasasti yang ditemukan berupa pecahan atau aksaranya sudah aus. Akibatnya pembacaan menjadi tidak lengkap atau sempurna. Untuk mendapatkan kebenaran pembacaan, dibutuhkan pengetahuan paleografi (ilmu yang mempelajari aksara kuno).

Contoh kesalahan pembacaan adalah demikian. Pada arca Camundi terdapat tulisan kuno yang bagian angka tahunnya hampir hilang. J.L. Moens dan C.C. Berg membacanya 1254 S (= 1332 M) sehingga dihubungkan dengan Tribhuwanottunggadewi, salah seorang raja Majapahit. Epigraf lain L. Ch. Damais membacanya 1214 S (= 1292 M) sehingga dihubungkan dengan raja Kertanegara.

Karena dari sebuah kepingan prasasti disebutkan nama Sri Maharaja Digwijaya ring Sakalaloka, yang merupakan gelar raja Kertanegara, pembacaan Damais lah yang kemudian diikuti.

Kesulitan lain adalah menafsirkan isi prasasti. Umumnya prasasti ditulis dengan berbagai bahasa yang sekarang sudah tidak digunakan lagi (bahasa mati). Selain itu struktur kalimat dalam prasasti amat berbeda dengan struktur kalimat dalam kitab-kitab sastra. Umumnya prasasti ditulis dalam bentuk prosa, sementara karya sastra ditulis dalam bentuk puisi (kakawin). Hal ini menyulitkan upaya perbandingan.

Kesulitan penafsiran juga disebabkan kalimat dalam prasasti ditulis sangat ringkas dan tatabahasanya tidak selengkap pada karya sastra. Dalam prasasti pun banyak dijumpai istilah teknis yang tidak pernah dijumpai pada karya sastra.

Contohnya penafsiran mengenai tokoh Haji Wurawari dari Lwaram sebagaimana disebutkan prasasti Pucangan. Satu pendapat mengatakan Haji Wurawari merupakan raja Malaysia yang diperalat oleh Sriwijaya untuk menyerang kerajaan Dharmawangsa Teguh. Menurut pendapat lain, Haji Wurawari berasal dari pulau Jawa. Soalnya gelar Haji hanya terdapat di Jawa, begitu alasannya.

Bagaimana suatu prasasti dianggap absah? Untuk meneliti keabsahan prasasti dikenal metode kritik sumber. Kritik sumber ada dua macam, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern antara lain melakukan analisis bentuk tulisan. Prasasti yang tulisannya jelek, misalnya, harus dicurigai asli atau palsu. Sedangkan kritik intern melihat dari dalam, yakni struktur bahasa dan isi prasasti.

Selain itu para pakar harus mengadakan perbandingan dengan sumber sejarah lain, seperti karya sastra dan berita asing. Masalahnya, kadang-kadang prasasti tidak memuat angka tahun sehingga kita tidak tahu dari masa siapakah prasasti tersebut berasal.

Biasanya para pakar melakukan perbandingan dengan prasasti-prasasti yang ada angka tahunnya, terutama perbandingan bentuk huruf (orthografi), gaya bahasa, istilah-istilah yang dipakai, dan nama-nama pejabat yang dituliskan.


Tersimpan di Mancanegara

Prasasti-prasasti asal Indonesia pernah menarik perhatian bangsa-bangsa Barat. Dulu, pada masa penjajahan, banyak prasasti diboyongi ke mancanegara. Di Denmark, misalnya, sampai kini masih tersimpan Prasasti Watukura. Prasasti itu merupakan koleksi keluarga L. Norgaard.

Di Belanda terdapat Prasasti Wukayana (disimpan di Museum Tropen), Prasasti Sangsang (Koninklijk Instituut voor de Tropen), Prasasti Guntur (Museum Maritim), dan Prasasti Tulangan (Museum voor Volkenkunde). Prasasti-prasasti yang sudah terlacak keberadaannya pernah dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh F.H. van Naerssen (1941) dalam bukunya Oudjavaansche Oorkonden in Duitsche en Deensche Verzamelingen (Prasasti-prasasti Jawa Kuno di Belanda dan Denmark).

Ketika Raffles menjadi Gubernur Jenderal Inggris di Hindia Belanda, dia pun pernah memboyong Prasasti Sangguran ke Skotlandia. Karena ditempatkan di kediaman Lord Minto, prasasti itu sering disebut Batu Minto. Pada masa Raffles pula Prasasti Pucangan dibawa ke India dan disimpan di Museum Kalkutta sehingga dikenal sebagai Batu Kalkutta. Di Prancis tercatat adanya Prasasti Dhimalasrama.

Kemungkinan besar, prasasti-prasasti Indonesia masih berada di 20-an negara. Yang sekarang patut dipertanyakan adalah, apakah kita berpikir untuk meminta kembali prasasti-prasasti itu? Ataukah kita tetap membiarkannya berada di sana?

Memang hanya ada dua pilihan. Kalau kembali ke sini, tentu kita harus mampu merawatnya sebaik mungkin. Berarti anggaran yang diperlukan sangat besar. Kalau tetap dibiarkan berada di sana, tentu harga diri kita terinjak-injak. Pasti banyak orang akan mengatakan, “Kok melestarikan warisan budaya bangsa sendiri tidak mampu?”


Cara Memberi Nama

Seperti halnya manusia, pada awalnya prasasti pun belum memiliki nama. Penamaan prasasti dilakukan oleh para peneliti berdasarkan empat pertimbangan.

Pertama, berdasarkan lokasi penemuan prasasti tersebut. Misalnya Prasasti Tugu, disebut demikian karena prasasti tersebut ditemukan di Kampung Tugu, Jakarta; Prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di Bukit Pasir Koleangkak; dan Prasasti Ciaruteun, ditemukan di tepi Kali Ciaruteun.

Kedua, berdasarkan nama raja atau pejabat yang mengeluarkan prasasti tersebut. Contohnya Prasasti Gajah Mada, mengenai peresmian sebuah caitya (tempat pemujaan) oleh Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.

Ketiga, berdasarkan nama tempat yang disebutkan dalam prasasti tersebut. Umpamanya Prasasti Kudadu, mengenai peresmian Desa Kudadu menjadi perdikan dan Prasasti Tuhanaru, mengenai hak perdikan bagi Desa Tuhanaru.

Keempat, berdasarkan nama bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti. Misalnya Prasasti Wintang Mas, yang isi pokoknya mengenai pendirian bangunan suci Wintang Mas.

Nah, bagaimana kalau ditemukan lebih dari satu prasasti di lokasi yang sama? Dulu, di daerah Kedu pernah ditemukan tiga prasasti sekaligus. Maka untuk membedakannya diberi nama Mantyasih I, Mantyasih II, dan Mantyasih III. Ada juga prasasti yang tertulis pada dua muka, seperti pada Prasasti Panggumulan. Untuk membedakannya disebut Panggumulan A dan Panggumulan B.

Yang unik, prasasti sering disebut sesuai selera si peneliti. Tidak urung sebuah prasasti memiliki dua atau tiga nama sekaligus karena pernah dibaca oleh beberapa orang yang berbeda. Maklum, zaman dulu pendokumentasian masih belum baik.

Seorang epigraf, misalnya, pernah menyebut Prasasti Gedangan, karena ditemukan di Desa Gedangan, Sidoarjo. Tapi oleh epigraf lain dinamakan Prasasti Kancana, karena menyinggung bangunan suci Kancana. Epigraf selanjutnya mengidentifikasi sebagai Prasasti Bungur, karena isinya berupa penguatan daerah Bungur sebagai perdikan. Eh ternyata Gedangan, Kancana, dan Bungur mengacu pada satu prasasti yang sama.


Prasasti dan Bangsa Asing

Umumnya prasasti berfungsi untuk memperingati pembangunan sebuah candi atau bangunan suci. Prasasti Canggal (732 M), misalnya, dianggap sebagai tanda peresmian Candi Gunungwukir, Prasasti Kalasan (778 M) dihubungkan dengan Candi Kalasan, dan Prasasti Kelurak (782 M) diduga berkaitan dengan Candi Sewu.

Prasasti juga berfungsi untuk memperingati anugerah tanah atau penetapan sima, seperti untuk pengelolaan bangunan suci, untuk diberikan kepada orang yang berjasa, dan untuk pengelolaan bangunan umum.

Fungsi lain dari prasasti adalah sebagai keputusan pengadilan, antara lain mengenai sengketa tanah, utang-piutang, dan tanda kemenangan. Yang agak seram, prasasti digunakan untuk mengutuk atau menyumpahi siapa saja yang berbuat tidak baik terhadap raja dan kerajaan. Uniknya, prasasti kutukan atau sumpah hanya terdapat di Kerajaan Sriwijaya.

Seperti halnya buku, prasasti juga mempunyai semacam “daftar isi”. Namun “daftar isi” setiap prasasti tidak selalu sama atau lengkap. Jarang sekali ditemukan sebuah prasasti yang lengkap. Prasasti yang lengkap biasanya terdiri atas sepuluh bagian.

Pertama, seruan pembukaan, berupa seruan selamat atau seruan hormat untuk dewa.

Kedua, unsur-unsur penanggalan, yang menyebutkan hari, tanggal, bulan, tahun, dan kadang-kadang dilengkapi dengan unsur-unsur astronomik.

Ketiga, nama raja atau pejabat pemberi perintah.

Keempat, nama pejabat tinggi yang mengiringi, meneruskan, dan menerima perintah.

Kelima, peristiwa pokok, yaitu penetapan suatu desa atau daerah menjadi sima.

Keenam, sambandha, yakni alasan atau sebab-sebab mengapa suatu desa atau daerah itu dijadikan sima.

Ketujuh, upacara jalannya penetapan sima.

Kedelapan, daftar para saksi atau pejabat yang hadir pada upacara penetapan sima.

Kesembilan, sumpah atau kutukan bagi siapa saja yang melanggar atau tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

Kesepuluh, bagian penutup, misalnya ditulis atau disalin oleh siapa.


Abklats

Banyak prasasti ketika ditemukan masih memiliki bentuk fisik yang baik. Artinya, aksara-aksara kunonya masih jelas terbaca. Keadaan seperti itu tentu saja sangat menguntungkan para epigraf. Begitu pula bila objek penelitian berupa prasasti logam. Karena bentuknya relatif kecil dan ringan, prasasti logam mudah dibawa-bawa.

Kerepotan justru terjadi bila epigraf mendapatkan prasasti batu yang berat, besar, dipahatkan pada batu tunggal (monolit), dan masih berada di tempat aslinya (misalnya di tengah hutan, di atas bukit, dan di lereng gunung). Maka untuk memudahkan kerja, biasanya para epigraf membuat rekaman prasasti dalam bentuk foto. Karena foto dinilai terlalu kecil, sering pula dibuat abklats.

Abklats adalah prasasti cetakan yang terbuat dari kertas singkong atau kertas roti. Cara membuatnya adalah membasuhnya dengan air lalu ditekan-tekan di atas prasasti batu. Setelah sekian lama akan terbentuk lekukan-lekukan aksara. Aksara-aksara yang timbul itulah yang akan dibaca oleh seorang epigraf.

Mirip dengan abklats adalah faksimili. Kalau abklats bersifat basah, maka faksimili bersifat kering. Cara membuat faksimili adalah menekan-nekan batu di luar huruf dengan tinta hitam, arang, atau pensil. Maka yang tampil adalah permukaan batu di sekitar hurufnya. Hurufnya sendiri jadi berwarna putih. Yang membuat repot adalah bila bentuk prasasti itu bundar. Membacanya, ya harus memutar atau berkeliling. Jadi akan timbul dua kali pusing: pusing membacanya dan pusing menafsirkannya.


Sarjana Barat

Karena rasa ingin tahu yang besar, maka peminat awal studi epigrafi Indonesia justru adalah sarjana-sarjana Barat. Budaya penelitian yang tinggi dan sarana yang mendukung, menyebabkan mereka sangat tertarik pada aksara-aksara kuno.

Kemungkinan besar Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia (1811-1816), merupakan bangsa asing pertama yang menaruh minat terhadap epigrafi Indonesia. Namun kekurangannya, Raffles tidak dapat membaca prasasti. Dia sepenuhnya menggantungkan diri pada Panembahan Sumenep yang kemudian mendatangkan orang-orang Bali ke Madura untuk menerjemahkan prasasti-prasasti berbahasa Kawi (Jawa Kuno).

Tidak heran Raffles banyak membuat kesalahan, sebagaimana ditunjukkan oleh C.J. van der Vlis. Sayang, pengetahuan Vlis pun sangat tergantung kepada orang lain, terutama kepada Ranggawarsita, seorang pujangga terkenal di Jawa pada masa itu.

Tahun 1850-1858 Th. Friederich mengeluarkan hasil penelitiannya dengan menggunakan suatu sistem yang kelak dipakai sebagai dasar oleh para penyelidik prasasti di kemudian hari. Setelah itu muncul K.F. Holle, H. Kern, dan A.B. Cohen Stuart. Mereka bertiga melakukan penelitian hampir bersamaan sehingga saling mengisi.

Holle memublikasikan penelitiannya pada 1867. Meskipun berupa alih aksara, terjemahan, dan keterangan singkat, kemudian ditambah dengan daftar abjad atau huruf-huruf yang digolongkan berdasarkan bentuknya, upaya Holle telah membuka wawasan dunia epigrafi Indonesia.

Kern selama 1873-1913 banyak menerbitkan karangan dengan menyebutkan uraian tentang keadaan dan riwayat penemuan prasasti, alih aksara, terjemahan, dan kupasan. Sedangkan Cohen Stuart menerbitkan dua buku (1875) dalam bentuk faksimili dan alih aksara.

Selanjutnya J.L.A. Brandes mulai mengerjakan dengan sungguh-sungguh alih aksara beberapa prasasti. Kemudian N.J. Krom memberikan gambaran luas mengenai apa yang harus diketahui terhadap epigrafi Indonesia. Bahkan Brandes-Krom menerbitkan buku Oud-Javaansch Oorkonden (Prasasti-prasasti Berbahasa Jawa Kuno).

Perkembangan baru dalam bidang epigrafi muncul dipelopori F.D.K. Bosch (1916-1936). Dia meneliti dan menerbitkan berbagai prasasti disertai sejumlah catatan, sehingga penting untuk bahan perbandingan.

W.F. Stutterheim mempunyai cara tersendiri dalam membahas prasasti. Hasil penelitiannya sangat luas dan mendalam. Dia banyak mengeluarkan karangan singkat yang merupakan penelitian atas persoalan kecil.

P.V. van Stein Callenfels, meskipun dikenal sebagai pakar prasejarah, rupanya tertarik juga menangani prasasti. Dia memelopori penelitian prasasti-prasasti Bali. Upayanya agak terinci sehingga menguntungkan peneliti-peneliti selanjutnya. Kelak, upayanya dilanjutkan oleh R. Goris.

J.G. de Casparis merupakan orang pertama yang benar-benar mencurahkan perhatiannya kepada prasasti. Hasil penelitiannya tentang prasasti-prasasti banyak dipublikasikan dalam bentuk buku, disertasi, dan karangan ilmiah.

Berikutnya L.Ch. Damais berhasil menyumbang suatu metode penting bagi epigrafi Indonesia, yaitu metode untuk menentukan perhitungan yang tepat mengenai unsur-unsur hari, tanggal, bulan, dan tahun dalam tarikh Indonesia kuno disertai berbagai gagasan dan teorinya. Tarikh dalam prasasti yang umumnya berupa tahun Saka, dialihkan menjadi tahun Masehi (A.S. Wibowo, “Riwayat Penyelidikan Prasasti di Indonesia”, hal. 63-106).

Para peneliti asing lainnya yang juga berperan di dunia epigrafi Indonesia adalah J. Ph. Vogel, G. Coedes, G. Ferrand, B. Ch. Chhabra, K.A. Nilakanta Sastri, R.C. Majumdar, H. Bh. Sarkar, K.C. Crucq, F.H. van Naerssen, Th. Pigeaud, dan Kozo Nakada. Mereka berasal dari Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, India, dan Jepang.

Setelah 1970-an muncul lagi generasi muda peneliti epigrafi Indonesia asal Australia, Antoinette M. Barret Jones. Jones banyak menelaah prasasti dari zaman klasik dan menulis buku tentang epigrafi.

Orang Indonesia pertama yang dianggap sebagai perintis epigrafi adalah Poerbatjaraka. Poerbatjaraka berhasil meraih gelar sarjana dan doktor dari Universitas Leiden (1926). Dia dinilai sering memberikan pembacaan dan tafsiran yang lebih baik dibandingkan peneliti-peneliti asing. Dia pun dapat memberikan salinan dari prasasti-prasasti yang semula hanya terbit dalam alih aksara.

Kemudian muncul M. Boechari dari Universitas Indonesia. Boechari adalah murid Poerbatjaraka. Sejak 1950-an Boechari banyak membuat abklats dan melakukan pembacaan ulang terhadap sejumlah prasasti.

Seangkatan dengan Boechari adalah M.M. Soekarto K. Atmodjo dari Universitas Gadjah Mada. Dia pun ibarat ensiklopedia hidup tentang prasasti. Kalau Boechari dikenal sebagai “ahli pemberi nama bayi”, Karto populer sebagai “ahli pencari hari jadi kota-kota di Jawa”.

Beberapa kota di Indonesia ditetapkan hari jadinya berdasarkan pembacaan Karto terhadap suatu prasasti. Kota-kota yang sudah memiliki “tanggal lahir” antara lain Ngawi, Sumenep, Lumajang, Tuban, Kediri, Magelang, dan Cilacap.

Epigraf-epigraf selanjutnya adalah Machi Suhadi, Habib Mustopo, Djoko Dwianto, Kusen, Ninie Susanti, Edhie Wuryantoro, Hasan Djafar, Richadiana Kartakusuma, Titi Surti Nastiti, Trigangga, dan sejumlah nama lagi dari beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Beberapa di antara mereka sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai dosen dan peneliti.

Mungkin karena ketiadaan materi, maka minat sarjana Indonesia untuk meneliti prasasti masih amat minim. Dari dulu hingga sekarang boleh dibilang sulit sekali mencari epigraf muda yang berkualitas. Soalnya, untuk menjadi seorang epigrafi dibutuhkan syarat-syarat yang relatif berat.

Dia harus mempunyai pengetahuan bahasa daerah yang baik. Minimal seorang epigraf mengusai tiga bahasa, seperti Jawa, Bali, dan Melayu. Selain itu harus memahami budaya Jawa karena sebagian besar prasasti ditemukan di Jawa. Juga bahasa asing karena sebagian besar peneliti awal prasasti adalah bangsa asing (DJULIANTO SUSANTIO)

Kalender tarikh Sanjaya itu ‘tiruan’ kalender tarikh Saka, cuma beda tahun, tapi nama-nama bulan, tanggal dan hari sama. Kalau permulaan tarikh Saka itu jatuh pada 3 Maret 78, maka tarikh Sanjaya dimulai pada 28 Februari 716. Tarikh Sanjaya diciptakan oleh Raja Daksa yang memerintah sekitar tahun 910 – 916. Ada empat prasasti yang dikeluarkan oleh raja tersebut yang menggunakan tarikh Sanjaya. Satu yang unik dari keempat prasasti itu adalah prasasti Tihang, menggunakan dua macam tarikh, Saka dan Sanjaya. Prasasti itu dikeluarkan pada 836 Saka dan 198 Sanjaya. Sayang, upaya Raja Daksa ini tidak dilanjutkan raja-raja berikutnya.(Trigangga/Museum Nasional)

Pos ini dipublikasikan di Periode Islam, Periode Klasik (Hindu-Buddha), Periode Kolonial dan tag , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar